]Berikut adalah
terjemahan dari ceramah Syaikh DR. Muhammad al-‘Arifi yang berjudul
al-Musytaquna ilal Jannah (Para Pendamba Surga) dengan sedikit penyesuaian).
Ini adalah sebuah cerita nyata seorang ibunda yang mengorbankan anak putranya
untuk berjihad/berperang dijalan Allah. Kisah ini sangat bermanfaat sekali
insya Allah, wallahua’lam bisshowab
…….
Ibunda Sang Mujahid
Muda:
Ibnul Jauzi dalam
Shifatus Shofwah (1/460) dan Ibnun Nahhas dalam Masyariqul ‘Asywaq mengisahkan
dari seorang yang shalih yang bernama Abu Qudamah asy-Syami.
“Suatu ketika aku
berangkat bersama beberapa sahabatku untuk memerangi kaum Salibis di beberapa
pos penjagaan dekat perbatasan. Dalam
perjalanan itu aku
melalui kota Raqqah (sebuah kota di Irak, dekat
sungai Eufrat). Di
sana aku membeli seekor unta yang akan kugunakan untuk membawa persenjataanku.
Di samping itu aku mengajak warga kota lewat masjid-masjid, untuk ikut serta
dalam jihad dan berinfak jihad fisabilillah.
Menjelang malam
harinya, ada orang yang mengetuk pintu. Tatkala kubukakan, ternyata ada seorang
wanita yang menutupi wajahnya dengan gaunnya.
“Apa yang Anda
inginkan?” tanyaku.
“Andakah yang bernama
Abu Qudamah?” katanya balik bertanya.
“Benar,” kataku.
“Andakah yang hari ini
yang mengumpulkan dana untuk membantu jihad di perbatasan?” tanyanya kembali.
“Ya, benar,” jawabku.
Maka wanita itu
menyerahkan secarik kertas dan sebuah bungkusan terikat, kemudian berpaling
sambil menangis.
Pada kertas itu
tertulis, “Anda mengajak kami untuk ikut berjihad,
namun aku tak sanggup
untuk itu. Maka kupotong dua buah kuncir
kesayanganku agar Anda
jadikan sebagai tali kuda Anda. Kuharap bila Allah melihatnya pada kuda Anda
dalam jihad, Dia mengampuni dosaku karenanya.”
Ibnul Jauzi dalam
komentarnya mengatakan, “Wanita ini niatnya baik, namun caranya keliru karena
ia tidak tahu bahwa perbuatannya itu – yakni memotong kucirnya – terlarang,
karenanya dalam hal ini kita hanya menyoroti niatnya saja.” (Shifatus Shafwah,
1/459)
“Demi Allah, aku kagum
atas semangat dan kegigihannya untuk ikut berjihad, demikian pula dengan
kerinduannya untuk mendapat ampunan Allah dan Surga-Nya.” Kata Abu Qudamah.
Keesokan harinya, aku
bersana sahabatku beranjak meninggalkan Raqqah.
Tatkala kami tiba di
benteng Maslamah bin Abdul Malik, tiba-tiba dari belakang ada seorang penunggan
kuda yang memanggil-manggil,
“Hai Abu Qudamah.. hai
Abu Qudamah.. tunggulah sebentar, semoga Allah merahmatimu,” teriak orang itu.
“Kalian berangkat saja
duluan, biar aku yang mencari tahu tentang orang ini,” perintahku pada para
sahabatku.
Ketika aku hendak
menyapanya, orang itu mendahuluiku dan mengatakan, “Segala puji bagi Allah yang
mengizinkanku untuk ikut bersamamu dan tidak menolak keikutsertaanku.”
“Apa yang kau
inginkan?” tanyaku.
“Aku ingin ikut
bersamamu memerangi orang-orang kafir,” jawabnya.
“Perlihatkan wajahmu,
aku ingin lihat, kalau engkau memang cukup dewasa dan wajib berjihad, akan aku
terima. Namun jika masih kecil dan tidak wajib berjihad, terpaksa kutolak.”
Kataku.
Ketika ia menyingkap
wajahnya, tampaklah olehku wajah yang putih bersinar bak bulan purnama.
Ternyata ia masih muda belia, dan umurnya baru 17 tahun.
“Wahai anakku, apakah
kamu memiliki ayah?” tanyaku.
“Ayah terbunuh di
tangan kaum Salibis dan aku ingin ikut bersamamu untuk memerangi orang-orang yang
membunuh ayahku,” tanyaku.
“Bagaimana dengan
ibumu, masih hidupkah dia?” tanyaku lagi.
“Ya,” jawabnya.
“Kembalilah ke ibumu
dan rawatlah ia baik-baik, karena surga ada di bawah telapak kakinya,” pintaku
kepadanya.
“Kau tak kenal ibuku?”
tanyanya.
“Tidak,” jawabku.
“Ibuku ialah pemilik
titipan itu,” katanya.
“Titipan yang mana?”
tanyaku.
“Dialah yang
menitipkan tali kuda itu,” jawabnya.
“Tali kuda yang mana?”
tanyaku keheranan.
“Subhanallah..!!
Alangkah pelupanya Anda ini, tidak ingatkah Anda
dengan wanita yang
datang tadi malam menyerahkan seutas tali kuda dan bingkisan?”
“Ya, aku ingat,”
jawabku.
“Dialah ibuku! Dia
menyuruhku untuk berjihad bersamamu dan mengambil sumpah dariku supaya aku
tidak kembali lagi,” katanya.
“Ibuku berkata, “Wahai
anakku, jika kamu telah berhadapan dengan musuh, maka janganlah kamu melarikan
diri. Persembahkanlah jiwamu untuk Allah. Mintalah kedudukan di sisi-Nya, dan
mintalah agar engkau
ditempatkan bersama
ayah dan paman-pamanmu di Jannah. Jika Allah mengaruniaimu mati syahid, maka
mintalah syafa’at bagiku.”
Kemudian ibu
memelukku, lalu menengadahkan kepalanya ke langit seraya berkata, “Ya Allah..
ya Ilahi.. inilah putraku, buah hati dan
belahan jiwaku,
kupersembahkan ia untukmu, maka dekatkanlah ia dengan ayahnya.”
“Aku benar-benar
takjub dengan anak ini,” kata Abu Qudamah, lalu anak itupun segera menyela,
“Karenanya, kumohon
atas nama Allah, janganlah kau halangi aku untuk berjihad bersamamu. Insya
Allah akulah asy-syahid putra asy-syahid. Aku telah hafal al-Quran. Aku juga jago
menunggang kuda dan memanah. Maka janganlah meremehkanku karena usiaku yang
masih belia,” kata anak itu memelas.
Setelah mendengar
uraiannya aku tak kuasa melarangnya, maka kusertakanlah ia bersamaku.
Demi Allah, ternyata
tak pernah kulihat orang yang lebih cekatan
darinya. Ketika
pasukan bergerak, dialah yang tercepat, ketika kami singgah untuk beristirahat,
dialah yang paling sibuk mengurus kami, sedang lisannya tak pernah berhenti
dari dzikrullah sama sekali.
Sampai tibanya di
medan perang, Aku pun terus mengikuti dan
memperhatikan
gerak-geriknya, lalu tampaklah olehku bahwa ia berada dibarisan terdepan. Maka
segera kukejar dia, kusibak barisan demi barisan hingga sampai kepadanya,
kemudian aku berkata,
“Wahai anakku, adakah
engkau memiliki pengalaman berperang..?”
“Tidak.. tidak pernah.
Ini justru pertempuranku yang pertama kali melawan orang kafir,” jawab si
bocah.
“Wahai anakku,
sesungguhnya perkara ini tak segampang yang kau bayangkan, ini adalah
peperangan. Sebuah pertumpahan darah di tengah gemerincingnya pedang, ringkikan
kuda, dan hujan panah.
Wahai anakku,
sebaiknya engkau ambil posisi di belakang saja. Jika kita menang kaupun ikut
menang, namun jika kita kalah kau tak jadi korban pertama,” pintaku kepadanya.
Lalu dengan tatapan
penuh keheranan ia berkata, “Paman, engkau berkata seperti itu kepadaku..!?”
“Ya, aku mengatakan
seperti itu kepadamu,” jawabku.
“Paman.. apa engkau
menginginkanku jadi penghuni neraka..?” tanyanya.
“A’udzubillah!!
Sungguh, bukan begitu.. kita semua tidak berada di
medan jihad seperti
ini kecuali karena lari dari neraka dan memburu surga,” jawabku.
Lalu kata sibocah,
“Sesungguhnya Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bertemu dengan
orang-orang yang kafir
yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur).
Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok
untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain,
maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan
tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS.
Al-Anfal: 15-16)
“Adakah Paman
menginginkan aku berpaling membelakangi mereka sehingga tampat kembaliku adalah
neraka?” tanya si bocah.
Aku pun heran dengan
kegigihannya dan sikapnya yang memegang teguh ayat tersebut. Kemudian aku
berusaha menjelaskan, “Wahai anakku, ayat itu maksudnya bukan seperti yang kau
katakan.” Namun tetap saja ia bersikeras tak mau pindah ke belakang. Aku pun
menarik tangannya secara paksa, membawa ke akhir barisan. Namun ia justru
menarik lengannya kembali seakan ingin melepaskan diri dari genggamanku. Lalu
perang pun dimulai dan aku terhalangi oleh pasukan berkuda darinya.
sampai perang pun
berakhir, Aku pun mulai mencarinya di tengah para korban, aku menoleh ke kanan
dan ke kiri kalau-kalau ia terlihat olehku. Di saat itulah aku mendengar suara
lirih di belakangku yang mengatakan, “Saudara-saudara.. tolong panggilkan
pamanku Abu Qudamah kemari panggilkan Abu Qudamah kemari.”
Aku menoleh ke arah
suara tadi, ternyata tubuh itu ialah tubuh si bocah dan ternyata puluhan tombak
telah menusuk tubuhnya. Ia babak belur terinjak pasukan berkuda. Dari mulutnya
keluar darah segar. Dagingnya tercabik-cabik dan tulangnya remuk total.
Ia tergeletak seorang
diri di tengah padang pasir. Maka aku segera bersimpuh di hadapannya dan
berteriak sekuat tenagaku,
“Akulah Abu
Qudamah..!! Aku ada di sampingmu..!!”
“Segala puji bagi
Allah yang masih menghidupkanku hingga aku dapat berwasiat kepadamu.. maka
dengarlah baik-baik wasiatku ini..!” kata si bocah.
Abu Qudamah
mengatakan, sungguh demi Allah, tak kuasa menahan tangisku.
Aku teringat akan
segala kebaikannya, sekaligus sedih akan ibunya yang tinggal di Raqqah. Tahun
lalu ia dikejutkan dengan kematian suami dan saudara-saudaranya, lalu sekarang
dikejutkan dengan kematian anaknya.
Aku menyingsingkan
sebagian kainku lalu mengusap darah yang menutup iwajah polos itu. Ketika ia
merasakan sentuhanku ia berkata, “Paman..usaplah darah dengan pakaianku, dan
jangan kau usap dengan pakaianmu.”
Demi Allah, aku tak
kuasa menahan tangisku dan tak tahu harus berbuatapa. Sesaat kemudian, bocah
itu berkata dengan suara lirih, “Paman..berjanjilah bahwa sepeninggalku nanti
kau akan kembali ke Raqqah, dan memberi kabar gembira bagi ibuku bahwa Allah
telah menerima hadiahnya, dan bahwa anaknya telah gugur di jalan Allah dalam
keadaan maju dan pantang mundur. Sampaikan pula padanya jikalau Allah
menakdirkanku sebagai syuhada, akan kusampaikan salamnya untuk ayah dan
paman-pamanku di Jannah.
Paman.. aku khawatir
kalau nanti ibu tak mempercayai ucapanmu. Maka ambillah pakaianku yang
berlumuran darah ini, karena bila ibu
melihatnya ia akan
yakin bahwa aku telah terbunuh, dan Insya Allah kami bertemu kembali di Jannah.
Paman.. setibanya
engkau di rumahku, akan kau dapati seorang gadis kecil berumur sembilan tahun.
Ia adalah saudariku.. tak pernah aku masuk rumah kecuali ia sambut dengan
keceriaan, dan tak pernah aku pergi kecuali diiringi isak tangis dan
kesedihannya. Ia sedemikian kaget ketika mendengar kematian ayah tahun lalu,
dan sekarang ia akan kaget mendengar kematianku.
Ketika melihatku
mengenakan pakaian safar ia berkata dengan berat hati, “Kak.. jangan kau
tinggalkan kami lama-lama.. segeralah pulang..!!”
Paman.. jika engkau
bertemu dengannya maka hiburlah hatinya dengan kata-kata manis. Katakan
kepadanya bahwa kakakmu mengakatakan,
“Allah-lah yang akan
menggantikanku mengurusmu.”
Abu Qudamah
melanjutkan, “Kemudian bocah itu berusaha menguatkan dirinya, namun napasnya
mulai sesak dan bicaranya tak jelas. Ia berusaha kedua kalinya untuk menguatkan
dirinya dan berkata,
“Paman.. demi Allah,
mimpi itu benar.. mimpi itu sekarang menjadi
kenyataan. Demi Allah,
saat ini aku benar-benar sedang melihat
al-Mardhiyyah dan
mencium bau wanginya.”
Lalu bocah itu mulai
sekarat, dahinya berkeringat, napasnya tersengal-sengal dan kemudian wafat di
pangkuanku.”
Abu Qudamah berkata,
“Maka kulepaslah pakaiannya yang berlumuran darah, lalu kuletakkan dalam sebuah
kantong, kemudian kukebumikan dia.Usai mengebumikannya, keinginan terbesarku
ialah segera kembali ke Raqqah dan menyampaikan pesannya kepada ibunya.
Maka aku pun kembali
ke Raqqah. Aku tak tahu siapa nama ibunya dan di mana rumah mereka.
Tatkala aku menyusuri
jalan-jalan di Raqqah, tampak olehku sebuah rumah. Di depan rumah itu ada gadis
kecil berumur sembilan tahun yang berdiri menunggu kedatangan seseorang. Ia
melihat-lihat setiap orang yang berlalu di depannya. Tiap kali melihat orang
yang baru datang dari bepergian ia bertanya,
“Paman.. Anda datang dari
mana?”
“Aku datang dari
jihad,” kata lelaki itu.
“Kalau begitu kakakku
ada bersamamu..?” tanyanya.
“Aku tak kenal, siapa
kakakmu..?” kata lelaki itu sambil berlalu.
Lalu lewatlah orang
kedua, dan tanyanya,
“Akhi.. Anda datang
dari mana?”
“Aku datang dari
jihad,” jawabnya.
“Kakakku ada
bersamamu..?” tanya gadis itu.
“Aku tak kenal siapa
kakakmu,” jawabnya sambil berlalu.
Lalu lewatlah orang
ketiga, keempat dan demikian seterusnya. Lalu setelah putus asa menaynakan
saudaranya, gadis itu menangis sambil tertunduk dan berkata,
“Mengapa mereka semua
kembali tapi kakakku tak kunjung kembali?”
Melihat ia seperti
itu, aku pun datang menghampirinya. Ketika ia
melihat bekas-bekas
safar padaku dan kantong yang kubawa, ia bertanya,
“Paman.. Anda datang
dari mana?”
“Aku datang dari
jihad,” jawabku.
“Kalau begitu kakakku
ada bersamamu?” tanyanya.
“Dimanakah ibumu?”
tanyaku.
“Ibu ada di dalam
rumah,” jawabnya.
“Sampaikan kepadanya
agar ia keluar menemuiku,” perintahku kepadanya.
Ketika perempuan tua
itu keluar, ia menemuiku dengan wajah tertutup gaunnya. Ketika aku mendengar
suaranya dan ia mendengar suaraku, ia bertanya,
“Hai Abu Qudamah,
engkau datang hendak berbela sungkawa atau memberi kabar gembira?”
Maka tanyaku, “Semoga
Allah merahmatimu. Jelaskan kepadaku apa yang kau maksud dengan bela sungkawa
dan kabar gembira itu?”
“Jika engkau hendak
mengatakan bahwa anakku telah gugur di jalan Allah, dalam keadaan maju dan
pantang mundur berarti engkau datang membawa kabar gembira untukku, karena
Allah telah menerima hadiahku yang telah kusiapkan untuk-Nya sejak tujuh belas
tahun silam.
Namun jika engkau
hendak mengatakan bahwa anakku kembali dengan selamat dan membawa ghanimah,
berarti engkau datang untuk berbela sungkawa kepadaku, karena Allah belum
berkenan menerima hadiah yang kupersembahkan untuk-Nya,” jelas si perempuan
tua.
Maka kataku, “Kalau
begitu aku datang membawa kabar gembira untukmu.
Sesungguhnya anakmu
telah terbunuh fisabilillah dalam keadaan maju dan pantang mundur. Ia bahkan
masih menyisakan sedikit kebaikan, dan Allah berkenan untuk mengambil sebagian
darahnya hingga ia ridha.”
“Tidak, kurasa engkau
tidak berkata jujur,” kata si ibu sembari
melirik kepada kantong
yang kubawa, sedang puterinya menatapku dengan
seksama.
Maka kukeluarkanlah
isi kantong tersebut, kutunjukkan kepadanya pakaian puteranya yang berlumuran
darah.
Nampak serpihan wajah
anaknya berjatuhan dari kain itu, diikuti tetesan darah yang tercampur beberapa
helai rambutnya.
“Bukankah ini adalah
pakaiannya.. dan ini surbannya.. lalu ini gamisnya yang kau kenakan pada anakmu
sewaktu berangkat jihad..?” kataku.
“Allahu Akbar..!!”
teriak si ibu kegirangan.
Adapun gadis kecil
tadi, ia justru berteriak histeris lalu jatuh
terkulai tak sadarkan
diri. Tak lama kemudian ia mulai merintih,
“Aakh..! aakh..!”
Sang ibu merasa cemas,
ia bergegas masuk ke dalam mengambil air untuk puterinya, sedang aku duduk di
samping kepalanya, mengguyurkan air kepadanya.
Demi Allah, ia tak
sedang merintih.. ia tak sedang memanggil-manggil kakaknya. Akan tetapi ia
sedang sekarat!! Napasnya semakin berat..dadanya kembang kempis.. lalu perlahan
rintihannya terhenti. Ya, gadisitu telah tiada.
Setelah puterinya
tiada, ia mendekapnya lalu membawanya ke dalam rumah dan menutup pintu di
hadapanku. Namun sayup-sayup terdengar suara dari dalam,
“Ya Allah, aku telah
merelakan kepergian suamiku, saudaraku, dan
anakku di jalan-Mu. Ya
Allah, kuharap Engkau meridhaiku dan
mengumpulkan bersama
mereka di jannah-Mu.”
Abu Qudamah berkata,
“Maka kuketuk pintu rumahnya dengan harapan ia akan membukakan. Aku ingin
memberinya sejumlah uang, atau menceritakan kepada orang-orang tentang
kesabarannya hingga kisahnya menjadi teladan. Akan tetapi sungguh, ia tak
membukakanku maupun menjawabseruanku.
“Sungguh demi Allah,
tak pernah kualami kejadian yang lebih menakjubkan dari ini,” kata Abu Qudamah
mengakhiri kisahnya.
Lihatlah bagaimana si
ibu mengorbankan segala yang ia miliki demi menggapai kebahagiaan ukhrawi. Ia
perintahkan anaknya untuk berjihad fisablillah demi keridhaan Ilahi. Maka
bagaimanakah nasib para pemalas seperti kita. Apa yang telah kita korbankan
demi keridhaan-Nya?”
(Diterjemahkan dari
ceramah Syaikh DR. Muhammad al-‘Arifi yang berjudul al-Musytaquna ilal Jannah
dengan sedikit penyesuaian)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar