Jama’ah-jama’ah jihad berdiri di atas pilar-pilar, dimana setiap pilar di dalamnya cukup untuk menjadikan hakarah-harakah tersebut wajib ada dan wajib muncul. Supaya kaum Muslimin mengetahui bahwa bergabung dengan jama’ah-jama’ah tersebut bukan hanya sekedar kembang kata, atau trend semata, tapi ia wajib bagi setiap Muslim.
Seorang Muslim wajib
beramal dalam amal jihadi, boleh jadi dengan menyeru ummat untuk berjihad, atau
menyiapkan diri untuk berjihad, atau beramal dengannya. Kewajiban ini tidak
akan pernah berhenti kecuali dengan dalil syar’i yang khusus, yakni keadaan
orang tersebut yang tergolong Ash-haabul A’dzaar (orang yang memperoleh udzur),
yang mana syara’ yang mulia telah memberikan udzur kepada mereka. Ide gagasan
apapun di alam wujud ini tidak mungkin bekerja sendiri dalam kehidupan kecuali
melalui jama’ah, karena jama’ah adalah batu pertama bagi pekerjaan apapun
ataupun tugas apapun.
Lalu, apa yang
mewajibkan adanya harakah-harakah jihad di dunia Islam? Syekh Abu Qotadah Al
Philistin menjelaskan dalam Al Jihad wal Ijtihad, bahwa yang dimaksud dengan
harakah-harakah jihad adalah jama’ah-jama’ah yang berjihad di dalam wilayah
negeri Islam yang terampas, bukan di luarnya. Mereka adalah jama’ah-jama’ah
yang berjihad dan berjuang mengembalikan modal, ini bukan berarti mengingkari
yang lain. Akan tetapi pembicaraan kita tentang Jihad Da’fu (defensive), dai dia
adalah jihad yang wajib bagi setiap Muslim. Adapun hal-hal yang mengharuskan
adanya harakah-harakah jihad di negeri-negeri murtad (dari keIslaman) adalah
sebagai berikut :
Mengembalikan ikatan
yang menyatukan ketercerai-beraian ummat Islam, yakni Daulah Khilafah yang
telah hilang. Tatkala Khilafah Islam runtuh, maka ikatan ummat terlepas,
sehingga mereka tidak berhak lagi menyandang predikat sebagai ummat. Memang
benar di sana ada orang-orang Islam di berbagai negeri di belahan dunia, di
sana ada rakyat awam dan ada para pemimpin, ada orang-orang berilmu dan para
ahli hujjah, ada kaum lelaki dan kaum wanita, ahli dzikir. Akan tetapi mereka
semua tidak masuk sama sekali dalam predikat sebagai ummat. Tidaka ada di sana
ummat Islam, oleh karena pilar penopang keberadaan ummat yang pertama tidak
ditemukan di antara potongan-potongan yang terserak serak ini, tiada ikatan
penghubung dan tiada tali penyatu, yakni yang kami maksud disini adalah
wujudnya Daulah (negara). Kaum Muslimin tidak mempunyai daulah, tidak memiliki
kekuasaan yang kokoh dan tidak memiliki kekuatan pengawal.
Harus diingat bahwa
jama’ah-jama’ah jihad bukanlah jama’ah-jama’ah yang cuma memanggul senjata,
tapi mereka adalah adalah jama’ah-jama’ah tajdid (yang melakukan pembaharuan)
terhadap ajaran-ajaran agama yang telah hilang. Mereka adalah jama’ah-jama’ah
tajidid, yakni mengembalikan potret Islam kepada keadaannya semula, dan ia
adalah sesuatu yang baru pada awalnya.
Jihad Dan Daulah Islam
Di Masa Mendatang
Daulah yang didambakan
yang kelak berdiri melalui jalan jihad adalah daulah satu-satunya yang memiliki
kesyar’iyan (keabsahan menurut syar’i) dan ialah daulah yang akan mengungkapkan
dengan benar tentang hakikat agama ini.
Daulah Islam di masa
mendatang tidak sebagaimana persangkaan orang-orang rasionalis yang
mempersepsikannya seperti bentuk negara sekuler di masa kini, dengan segenap
struktur dan institusi yang ada di dalamnya. Mereka hanya menjadikan daulah
tersebut sebagai daulah Islam hanya dengan menyemprotkan sejumlah warna-warna
pucat pada strukturnya, untuk menyempurnakan warna celupannya dengan
celupan-celupan Islam. Berdasarkan pola pemikiran seperti ini, maka mereka
menghadapi sejumlah pertanyaan-pertanyaan penting tentang bentuk Daulah Islam.
Mereka akhirnya berupaya menyamakan antara Daulah Islam dengan negara sekuler
masa kini yang didirikan melalui jalan demokrasi dan multi partai.
Syekh Abu Qotadah
melanjutkan, sesungguhnya daulah satu-satunya yang memiliki kesyar’iyan dan
merepresentasikan potret Islam yang benar dan berisi esensinya adalah daulah
yang berdiri melalui jalan jihad (qital).
Jadi, kalau ada yang
bertanya, ‘Sekiranya ditakdirkan bagi satu upaya perjuangan demokrasi bisa
mengantarkan Islam ke tampuk kekuasaan, maka apakah ini berarti bahwa
pemerintahan itu tidak bisa disebut sebagai pemerintahan Islam?”
Maka Syekh Abu Qotadah
menjelaskan, bahwa patut untuk diketahui bahwa daulah Islam yang hilang tidak
akan tegak dengan cara syirik ini (demokrasi). Orang-orang Islam demokrat itu
hendaknya mengekang kendali lamunan mereka untuk bisa meraih kebaikan atau
sebagiannya melalui jalan parlemen dan demokrasi.
Maka, ketika diulang
pertanyaan apakah jika sekelompok ummat sampai ke tampuk kekuasaan melalui cara
demokrasi dan memberlakukan syari’at, maka apakah pemerintahan tadi menjadi
pemerintahan Islam dengan cara tersebut? Maka jawabannya tegas, TIDAK! Karena
setiap hukum, meski bersesuaian dengan syari’at Islam dalam definisi dan
sifatnya, tapi ia diwajibkan lewat jalan parlemen dan pilihan rakyat, maka ia
sekali-sekali belum dikatakan sebagau hukum Islam, tapi ada adalah hukum
thoghut kafir! Wallahu’alam bis showab! AL MUSTAKBAL.NET
Tidak ada komentar:
Posting Komentar